antara 5 spesies badak yang ada di dunia (WWF 2009) sehingga dikategorikan sebagai critically endangered atau terancam punah dalam daftar Red List Data Book yang dikeluarkan oleh International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) (Ellis S 2010, IRF 2010, IRF 2011). Badak jawa juga terdaftar dalam Apendiks I Convention on International Trade in Endangered Spesies of Wild Fauna and Flora (CITES) sebagai jenis yang jumlahnya sangat sedikit di alam dan dikhawatirkan akan punah (Soehartono & Mardiastuti2002).
Penyebaran badak jawa di dunia terbatas di Indonesia dan Vietnam. Di Indonesia, badak jawa hanya terdapat di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) dengan populasi relatif kecil, yaitu kurang dari 44 ekor (Ellis 2010), adapun populasi badak jawa yang ada di Vietnam sudah dinyatakan punah akibat perburuan (IRF 2011; WWF 2012). Jumlah populasi badak jawa yang sedikit dan hanya terdapat di satu areal memiliki risiko kepunahan yang tinggi. Oleh karena itu, upaya untuk menjamin kelestarian populasi badak jawa dalam jangka panjang merupakan salah satu prioritas program konservasi badak jawa di Indonesia (Rahmat et.al. 2008).
Keberadaan badak jawa di TNUK cenderung ter-konsentrasi di Semenanjung Ujung Kulon, meng-indikasikan bahwa tidak semua bagian ruang di TNUK menjadi habitat yang digunakan (habitat use) bagi badak jawa. Penyebaran badak jawa di TNUK pada umumnya berada di daerah bagian selatan Semenanjung Ujung Kulon yaitu daerah Cibandawoh, Cikeusik, Citadahan, dan Cibunar. Pada bagian utara Semenanjung, penyebaran badak jawa terdapat di daerah Cigenter, Cikarang, Nyiur, Nyawaan, Cimayang, Citerjun, dan Cijengkol (Rahmat etal 2008).
Kelangsungan hidup badak jawa di TNUK terancam oleh berbagai faktor seperti bencana alam (ledakan Gunung Krakatau, gempa bumi, dan tsunami), invasi langkap (Muntasib et al. 1997), persaingan dengan banteng (Muntasib 2000), dan penyakit (Tiuria et al. 2006). Badak jawa juga menghadapi ancaman yang semakin meningkat dari manusia seperti pemukiman, perladangan liar, dan perambahan hutan. Badak jawa juga menghadapi perburuan liar guna memperoleh culanya. Akibat berkembangnya anggapan bahwa cula badak mempunyai khasiat dalam pengobatan tradisional cina. Selain itu, sebagai satwa yang memiliki sebaran terbatas, inbreeding yang dapat mengakibatkan terjadinya penuranan kualitas dari genetik berpotensi terjadi (Rahmat 2009, WWF 2009).
Untuk menyelamatkan badak jawa di TNUK diperlukan adanya langkah strategis dan rencana tindakan konservasi dalam jangka panjang secara in situ yang secara operasional mampu mempertahankan dan mengembangkan populasi tersebut pada suatu tingkat yang aman dari ancaman kepunahan. Strategi yang dimaksud adalah membuat rumah kedua (second habitat) bagi badak jawa (Rahmat 2009).
Habitat kedua bagi badak jawa haras didasarkan kepada preferensi habitat badak jawa di TNUK. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas dan terperinci mengenai habitat preferensi badak jawa perlu dilakukan analisis spasial (Osborne et al. 2001) yang dipadukan dengan analisis statistika yang tepat. Dengan melakukan kedua analisis tersebut akan diketahui keterkaitan badak jawa terhadap komponen habitat tertentu. Analisis tersebut dapat memberikan informasi yang penting dan akurat mengenai habitat badak jawa sehingga dapat mendukung pembuatan keputusan yang baik. Selain itu, analisis tersebut tidak saja dapat menampilkan informasi mengenai kondisi habitat pada waktu tertentu tetapi juga dapat digunakan untuk mengevaluasi terjadinya perubahan-perubahan berdasarkan faktor ekologi dan sosial (Austin 2002).
Studi ini mencoba untuk menggunakan data citra satelit dan teknologi sistem informasi geografis (SIG) dibantu dengan studi lapangan untuk menganalisis kondisi habitat dan memprediksi habitat yang sesuai bagi badak jawa di TNUK. Pemodelan kesesuaian habitat memprediksi kesesuaian habitat bagi spesies berdasarkan penilaian atribut habitat seperti struktur habitat, tipe habitat, dan pengaturan spasial antar komponen habitat. Model kesesuaian habitat telah menjadi alat yang digunakan baik untuk memahami karakteristik habitat yang berbeda, mengevaluasi kualitas habitat, dan mengembangkan strategi pengelolaan satwa liar (Austin 2002).
Semenjak awal tahun 2012 ini, tidak henti-hentinya muncul publikasi, kegiatan, dan kampanye Dukung Pelestarian Badak Jawa.Tahun ini memang dicanangkan sebagai Year of the Rhino oleh Pemerintah Indonesia atas mandat dari lembaga konservasi dunia IUCN (International Union for Conservation of Nature) dengan didukung oleh berbagai LSM dan berbagai pihak. Sebelum Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan secara resmi selasa kemarin, International Rhino Foundation (IRF) juga telah mencanangkan tahun ini sebagai Tahun Badak. Semenjak kematian Torgamba, badak Sumatera jantan yang ada di Suaka Rhino Sumatera/Sumatran Rhino Sanctuary (SRS) Taman Nasional Way Kambas, akhir Maret tahun lalu, perhatian berbagai pihak terhadap badak menjadi lebih serius. Bersamaan dengan peringatan Tahun Badak, berbagai kalangan berlomba-lomba mengadakan seminar, diskusi ilmiah, dan kampanye pelestarian badak sebagai wujud kepedulian terhadap satwa endemik Indonesia ini. Indonesia memiliki dua dari lima spesies badak yang masih ada di dunia, yaitu badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) dan badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis). Sungguh merupakan kekayaan alam Indonesia yang luar biasa, dan sepatutnya kita jaga (Danang,2012).
Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) sendiri, merupakan spesies badak yang dimasukkan dalam kategoricritically endangered (IUCN 2008). Data perkembangan populasi badak Jawa yang dihimpun oleh WWF-Indonesia menyebutkan bahwa pada tahun 1960-an diperkirakan hanya terdapat 20-30 ekor badak di TN Ujung Kulon, kemudian meningkat menjadi dua kali lipat sekitar tahun 1967 sampai 1978. Diperkirakan sampai akhir tahun 2011, populasi badak Jawa mencapai 35 individu, dari hasil identifikasi melalui camera trap (WWF Indonesia). Sungguh memprihatinkan bukan? Beberapa kali saya mengikuti kajian mengenai konservasi badak, diantaranya Seminar Nasional Pelestarian Badak melalui Konservasi dan Medis di FKH UGM serta Seminar Nasional Save Our Rhinoceros yang diadakan oleh FKH IPB. Informasi yang saya dapat dari hasil berpetualang mengikuti beberapa kegiatan terkait konservasi badak tersebut cukup membuat saya tergugah untuk lebih peduli terhadap kelestarian satwa-satwa Indonesia. Suatu nilai positif juga karena pemerintah Indonesia dan LSM terkait memberikan perhatian lebih, salah satunya program Dukung Pelestarian Badak Jawa (Danang,2012).
DAFTAR PUSTAKA
Austin MP. 2002. Spatial prediction of species distribution: an interface between ecological theory and statistical modeling. Journal of Ecological Modelling.
Ellis S. 2010. Loss of a second critically endangered Javan Rhino points to dire need for conservation action. Journal of The Rhino Print (Newsletter of the Asian Rhino Project) 8:3-4.
IRF. 2010. Operation Javan rhino: providing a safety net for a species. Journal of Pamphlet distributed by IR F: 1 -5.
IRF. 2011. Javan rhino update June 2011. Journal of The Rhino Print (Newsletter of the Asian Rhino Project): 2-4.
Muntasib EKSH, Putro HR, Mas'ud B, Rinaldi D, Arief H, Mulyani YA, Rushayati SB, Prayitno W, Mulyadi K. 1997. Panduan pengelolaan habitat badak jawa (Rhinoceros sondaicus Desm. 1822) di TN Ujung Kulon. Media Konservasi Edisi Khusus: 1-15.
Muntasib EKSH. 2000. The changes of feeding pattern of banteng (Bos javanicus) and its effect to Javan rhino (Rhinoceros sondaicus) in Ujung Kulon National Park, West Java. Journal of Media Konservasi 7(3):71-74. WWF Queen's University Canada. 2009. Javan rhino genetic study: development of molecular tools. Journal of e-News letter of Rhino Care (1):1.
Osborne EP, Alonso JC, Bryant RG. 2001. Modelling landscape scale habitat use using GIS and remote sensing: a case study with great bustards. Journal of Applied Ecology 38:458-471. DOI:10.1016/j. Geomorph. 2012.04.004.
Rahmat UM, Santosa Y, Kartono AP. 2008. Analisis preferensi habitat badak jawa (Rhinoceros sondaicus, Desmarest 1822) di Taman Nasional Ujung Kulon. Jurnal Manajemen Hutan Tropika 14(3):115-124.
SoehartonoT,Mardiastuti A. 2002. CITES Implementation in Indonesia. Jakarta: Nagao Natural Environment Foundation.
Tiuria R, Primawidyawan A, Pangihutan J, Warsito J, Hariyadi ARS, Handayani SU, Priosoeryanto BP. 2006. Identification of endoparasites from faeces of Javan rhino (Rhinoceros sondaicus) in Ujung Kulon National Park, Indonesia. Di dalam: Journal of Proceedings AZWMP 2006; Bangkok, 26 -29 Oktober 2006. hal 31.