Rabu, 18 Maret 2015

KEARIFAN LOKAL TENTANG MITIGASI BENCANA PADA MASYARAKAT BADUY

Teori Jurnal Kearifan Lokal Kearifan lokal sering dikaitkan dengan masyarakat lokal dan mempunyai beberapa pengertian. Kearifan lokal diartikan sebagai pandangan hidup dan pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka (Departemen Sosial RI, 2006). Sistem pemenuhan kebutuhan mereka pasti meliputi seluruh unsur kehidupan, agama, ilmu pengetahuan, ekonomi, teknologi, organisasi sosial, bahasa dan komunikasi, serta kesenian. Definisi lain, Kearifan lokal merupakan gagasan-gagasan setempat (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya (Sartini, 2004: 111). Dengan demikian kearifan lokal merupakan pandangan dan pengetahuan tradisional yang menjadi acuan dalam berperilaku dan telah dipraktikkan secara turun-temurun untuk memenuhi kebutuhan dan tantangan dalam kehidupan suatu masyarakat. Kearifan lokal berfungsi dan bermakna dalam masyarakat baik dalam pelestarian sumber daya alam dan manusia, pemertahanan adat dan budaya, serta bermanfaat untuk kehidupan. Pada umumnya, masyarakat lokal mempunyai pandangan bahwa lingkungan di sekitarnya ada yang memiliki dan menghuni selain manusia yaitu roh alam. Oleh karena itu, manusia yang beraktifitas di sekitarnya harus menghormati dan menjaga tempat-tempat mereka itu, seperti hutan, gunung, lembah, dan sumber air. Bahkan banyak tempat-tempat tersebut yang dijadikan tempat yang sakral atau dikeramatkan. Sehingga tak sembarang orang bisa memasuki tempat-tempat tersebut, dan orang-orang pun akan enggan untuk merusak lingkungan tempat-tempat yang sudah dikeramatkan tersebut. Mitigasi Bencana Mitigasi bencana adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk mencegah bencana atau mengurangi dampak bencana. Adapun menurut Keputusan Menteri Dalam Negeri RI No. 131 tahun 2003, mitigasi (diartikan juga sebagai penjinakan) diartikan sebagai upaya dan kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi dan memperkecil akibat-akibat yang ditimbulkan oleh bencana yang meliputi kesiapsiagaan dan kewaspadaan. Kearifan lokal suku-suku pedalaman dalam upaya mencegah dan meminimalisir terjadinya bencana (mitigasi bencana) yang merupakan pengetahuan tradisional yang telah diturunkan sejak ratusan tahun bahkan mungkin ribuan tahun yang lalu. Pengetahuan tersebut biasanya diperoleh dari pengalaman empiris yang kaya akibat berinteraksi dengan lingkungannya. Sayangnya, kini berbagai pengetahuan lokal dalam berbagai suku bangsa di Indonesia banyak yang mengalami erosi atau bahkan punah dan tidak terdokumentasikan dengan baik sebagai sumber ilmu pengetahuan. Padahal pengetahuan dan kearifan lokal dapat dipadukan antara empirisme dan rasionalisme sehingga dapat pula digunakan antara lain untuk mitigasi bencana alam berbasis masyarakat lokal (Iskandar, 2009). Rangkuman Isi Jurnal Kearifan lokal tentang mitigasi bencana dalam tradisi perladangan. Perladangan merupakan aktivitas bercocok tanam atau pertanian bersifat tradisional.Perladangan biasanya dilakukan secara berpindah-pindah, atau sering pula disebut dengan istilah asingnya shifting,swidden, slash and burn, atau shifting cultivation.Kegiatan perladangan ini dikenal hampir di seluruh belahan dunia terutama yang beriklim tropis. Istilah perladangan di Indonesia disebut huma (Jawa Barat), juma (Sumatra), dan umai (Kalimantan) (Iskandar, 1992:11-12). Lebih jauh, Iskandar (1992) mengungkapkan bahwa perladangan di berbagai wilayah di dunia telah banyak yang mengalami perubahan. Hal ini disebabkan karena pertambahan penduduk yang pesat, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin maju, dan perkembangan ekonomi yang cepat. Perubahan sistem perladangan yang terjadi di beberapa bagian masyarakat dunia itu, tidak otomatis berlaku pula di Indonesia. Salah satu kelompok masyarakat perladangan di Indonesia yang masih memegang teguh adat tradisi perladangan itu adalah masyarakat Baduy. Tradisi perladangan pada masyarakat Baduy secara tradisional masih tetap berlangsung hingga detik ini. Ladang menurut masyarakat Baduy disebut huma. Bekas huma yang masih baru ditinggalkan disebut jami, sedangkan bekas huma yang sudah lama ditelantarkan hingga menjadi semak disebut reuma (Iskandar, 2000: 2; Permana, 2010:51). Perladangan Baduy utamanya adalah menanam padi. Selain sebagai makanan pokok, padi juga merupakan tanaman yang dianggap mulia. Masyarakat Sunda baik di wilayah Jawa Barat maupun Banten sangat menghormati padi karena diyakini sebagai penjelmaan Nyi Sri atau Nyi Pohaci Sanghyang Asri atau Dewi Padi. Penghormatan kepada padi terlihat sepanjang proses perladangan, panen, hingga pascapanen. Konsep dan penghormatan tentang Nyi Sri atau Nyi Pohaci tersebut terdapat pula dalam karya naskah kuno Sunda, misalnya Wawacan Sulanjana. Dalam naskah itu dikatakan bahwa tanaman padi diyakini berasal dari Dewi yang dimuliakan oleh tokoh-tokoh mulia lainnya, antara lain Batara Guru, Prabu Siliwangi, dan Semar. Tradisi penghormatan kepada padi tersebut merupakan kearifan lokal yang tetap harus dipelihara dan dijaga sebagai upaya mempertahankannya sebagai makanan pokok (Kalsum, 2010: 90, 93). Menurut tradisi masyarakat Baduy dikenal lima macam huma, yakni: (a) huma serang, ladang adat kepunyaan bersama yang hanya terdapat di Baduy Tangtu (awam menyebutnya Baduy Dalam), yaitu di Cikeusik, Cikartawana, dan Cibeo, (b) huma puun, ladang dinas selama menjabat sebagai puun yang letaknya tidak jauh di belakang rumah puun, (c) huma tangtu, ladang untuk keperluan penduduk Baduy Tangtu, (d) huma tuladan,ladang untuk keperluan upacara (seperti huma serang) di Baduy Panamping (Baduy Luar), dan (e) huma panamping, ladang untuk keperluan penduduk Baduy Panamping (Permana, 2010:52-54). Untuk menjaga keseimbangan ekosistem hutan dan DAS, masyarakat Baduy yang bermukim di wilayah tersebut ditabukan untuk bercocok tanam dengan cara mengolah lahan seperti membuat petak sawah, mencangkul, atau menanami dengan tanaman untuk perdagangan. Cara pengolahan lahan yang berlebihan dan pengusahaan lahan pertanian untuk diperdagangkan diyakini akan menimbulkan kerusakan ekosistem. Kesimpulan masyarakat Baduy yang hingga saat ini hidup dan menjalani kehidupannya secara bersahaja, tetap memegang kuat kepercayaan dan adat-istiadatnya dengan penuh kearifan. Salah satu kearifan lokal masyarakat Baduy itu adalah berkaitan dengan pencegahan terjadinya bencana (mitigasi bencana). Masyarakat Baduy melalui kearifan lokalnya terbukti mampu melakukan pencegahan (mitigasi) bencana, baik dalam tradisi perladangannya, bangunan-bangunan tradisionalnya, maupun dalam kaitannya dengan hutan dan air. DAFTAR PUSTAKA Departemen Sosial RI. 2006. ‘Memberdayakan Kearifan Lokal bagi Komunitas Adat Terpencil’. Kementerian Sosial Republik Indonesia (online) http://www.kemsos.go.id/ , diakses 21 Oktober 2014. Iskandar, J. 1992. Ekologi Perladangan di Indonesia:Studi Kasus dari Daerah Baduy, Banten Selatan, Jawa Barat. Jakarta: Djambatan. Iskandar, J., & Ellen, R.F. 2000. The Contribution of Paraserianthes (Albizia) falcataria to Sustainable Swidden Management Practices among the Baduy of West Java. Jurnal Human Ecology, 28, 1-17. Iskandar, J. 2009. ‘Mitigasi Bencana lewat Kearifan Lokal’. Kompas (online), http://Kompas.com , diakses 21 November 2014. Kalsum. 2010. Kearifan Lokal dalam Wawacan Sulanjana: Tradisi Menghormati Padi pada Masyarakat Sunda di Jawa Barat, Indonesia. Jurnal Sosiohumanika,3 (1), 79-94. Permana, C.E. 2010. Kearifan Lokal Masyarakat Baduy dalam Mitigasi Bencana. Jakarta: Wedatama Widya Sastra. Sartini. 2004. ‘Menggali Kearifan Lokal Nusantara: Sebuah Kajian Filsafat’. Jurnal Filsafat, 37, 2004, 111-120.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar